Kamis, 14 Januari 2010

MASALAH KEBIJAKAN TAMBANG MIGAS DI INDONESIA


Minyak dan Gas Bumi (Migas), diyakini banyak kalangan sebagai komoditi tulang punggung ekonomi Indonesia hingga kini. Dilihat dari angka-angka, Migas memang berkontribusi paling tinggi dibanding sektor lain pada pendapatan--yang katanya--negara. Oleh karena itu, semua mata jadi tertutup, dan kita tidak dapat melihat berbagai masalah yang terjadi dalam penambangan migas. Akibatnya, Pertamina sebagai satu-satunya pemegang hak atas Migas di Indonesia bersama para kontraktornya leluasa berbuat sewenang-wenang atas kekayaan alam bangsa.

Berbagai kasus korupsi di tubuh Pertamina sejak rezim otoriter Soeharto hingga rezim pelangi antar partai Gus Dur belum satupun yang diusut tuntas. Eufemisme justru sering digunakan untuk menyelamatkan Pertamina dari tuduhan korupsi seperti kasus mis-manajemen yang diungkap pada rezim Habibie.

Selain masalah korupsi, banyak masalah lain yang juga belum terungkap dalam penambangan Migas. Misal saja, hak menguasai negara yang diberikan secara mutlak pada PERTAMINA, proses lahirnya Production Sharing Contract (Kontrak Bagi Hasil/PSC) antara PERTAMINA dengan perusahaan multinasional, rencana investasi yang diatur oleh perusahaan multinasional, serta terpinggirkannya rakyat dalam proses penambangan migas di Indonesia.

Agak sulit untuk membahas berbagai pertanyaan di atas dalam edisi GALI-GALI kali ini. Namun, GALI-GALI coba paparkan beberapa fakta yang selama ini terjadi, agar kita bisa memahami sedikit seluk beluk masalah yang terjadi dalam industri Migas di Indonesia.

PERKEMBANGAN RUU MIGAS UU Migas No. 44 Prp tahun 1960, kini sedang disiapkan penggantinya oleh pemerintah. Rancangan UU ini sempat menjadi kontroversial, karena terjadi perbedaan pandangan yang tajam antara pemerintah dan DPR-RI saat itu. Kini DPR-RI yang baru berencana untuk melanjutkan pembahasan rancangan UU yang tertunda pada periode persidangan DPR-RI yang lama.

Perdebatan yang mengemuka saat itu berkisar pada peran Pertamina, dan kepentingan ekonomi negara. Tidak ada perdebatan yang menyinggung langsung kepentingan rakyat, baik yang terkena dampak kegiatan industri Migas, maupun hak rakyat untuk berperan serta dalam kegiatan pertambangan Migas.

PRODUCTION SHARING CONTRACT (Kontrak Bagi Hasil/PSC) Dalam usulan RUU Migas, pemerintah berkeinginan mengganti PSC dengan Kontrak Kerjasama, yang menyerupai Kontrak Karya dalam pertambangan umum. Padahal semua tahu model Kontrak Kerjasama ala Kontrak Karya, telah nyata-nyata merugikan bangsa yang dikeruk hasil alamnya oleh perusahaan tambang. Namun, pemerintah ataupun DPR tetap saja menyempitkan perdebatan mereka pada dua pilihan yang sama-sama menyengsarakan itu, yaitu Kontrak Kerjasama atau PSC. Belum ada perdebatan yang keluar dari model pemberian kontrak menuju suatu sistem yang dapat menjamin kesejahteraan rakyat di wilayah pertambangan. Perdebatan menjadi tereduksi oleh bingkai penglihatan sistem kontrak, yang sangat diharapkan oleh investor.

LIBERALISASI DISTRIBUSI DAN PEMASARAN MIGAS Pemerintah lewat RUU Migas berjanji untuk mengikis habis monopoli di PERTAMINA. Namun yang ditawarkan adalah membuka suatu kesempatan bagi perusahaan swasta lain untuk ikut berkompetisi dalam distribusi dan pemasaran migas. Sepintas ide ini cukup menarik. Namun ancaman di balik itu sungguh sangat mengerikan. Saat ini yang paling siap untuk berkompetisi adalah perushaan-perusahaan multinasional seperti Mobil Oil, Shell, Caltex, Texaco, Unocal, Vico, Total dan lain sebagainya. Karena mereka yang paling siap, maka mereka yang akan merebut pangsa pasar distribusi dan pemasaran migas di Indonesia. Maka yang akan terjadi adalah bergantinya MONOPOLI PERTAMINA pada OLIGOPOLI perusahaan multinasional.

Ancaman besarnya modal yang akan masuk pada industri migas di Indonesia, juga tidak mendapat perhatian memadai dalam perdebatan RUU Migas di DPR-RI. Padahal hal tersebut, dilihat dari rencana investasi yang sedang disiapkan oleh perusahaan multinasional dan campur tangan mereka lewat lembaga-lembaga keuangan internasional dalam kebijakan negara, adalah ancaman serius yang patut diperhatikan semua pihak. Perang saudara di Angola adalah satu contoh terparah akan betapa buruknya intervensi perusahaan multinasional pada kedaulatan suatu negara.

HAK RAKYAT DAN LINGKUNGAN HIDUP Kedua isu ini merupakan isu yang sangat marjinal di kalangan politisi dan pemerintah. Seolah-olah aktivitas industri migas dilakukan di wilayah hampa kepemilikan dan kebal polusi. Padahal berbagai kasus menunjukan kedua isu ini menjadi pemicu lahirnya perlawanan rakyat, seperti kasus Aceh, Riau dan Kaltim. Kasus Mobil Oil yang sudah lama disengketakan orang Aceh, masih juga belum cukup jadi referensi bagi pengambil kebijakan untuk mengubah susbstansi dan perilaku kebijakan. Negara secara semena-mena mereduksi perlawanan rakyat atas ketidakadilan menjadi persoalan perimbangan keuangan semata. Pandangan seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah.

Kini pemerintahan telah berganti. Banyak harap dan asa dari rakyat untuk melihat sebuah perubahan yang nyata. Akankah harapan itu bisa terealisir? Kita tunggu hasil konkrit dari mereka.
users.nlc.net.au/mpi/testfiles/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar